Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi.
Nama & E-mail (Penulis): M. ali adriansyah
Saya Mahasiswa di STAIN Malang
Tanggal: 13 okt 2001
Judul Artikel: SAYYED HUSSEIN NASR TRADISIONALISME ISLAM SEBAGAI PENCARIAN MENUJU SOPHIA PERENNEIS BAB I
Topik: KEISLAMAN
Artikel:
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASLAH
Secara historis zaman terus berkembang melalui hirarkis perkembangan yang terus dibarengi pula dengan perubahan-perubahan sosial, dimana dua hal ini selalu berjalan beriringan. Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas, menjadi hal yang problematis ketika ia hidup dalam komunitas sosial. Kemerdekaan dirinya mengalami benturan dengan kemerdekaan individu-individu lain atau bahakan dengan mahluk yanglain. Sehingga ia terus terikat dengan konfensasi kosmik, bahwa bagaimana ia harus berhubungan dengan orang lain, dengan alam, dengan dirinya sendiri maupun dengan Tuhannya. Maka muncullah tata aturan, norma atau nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang harus ditaati.
Semacam hal tersebut di ataslah perdaban manusia dimulai, dimana manusia harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ia harus memegangi nilai-nilai aturan yang berlaku mengatur hidup manusia. Lahirnya agama-agama didunia adalah merupakan bentuk-bentuk perwujudan dari pernyataan semacam itu. Ketika manusia sudah mulai merasa jenuh dan tidak puas dengan realitas yang mereka jalani.
Agama merupakan pengakuan manusia untuk bersikap pasrah kepada sesuatu yang lebih tinggi, lebih agung dan lebih kuat dari mereka, yang bersidat transedental. Telah menjadi fitrah manusia untuk memuja dan sikap pasrah kepada sesuatu yang dia agung-agungkan untuk dijadikan sebagai Tuhannya.
Sering kali kita membaca dua sejarah besar antar Islam dan Barat seakan-akan tak pernah saling bertemu antara keduanya atau seperti dua sejarah yang harus dibedakan antara keduanya. Padahal tidaklah begitu, ketika kita mau membaca atau menyimak sejarah, sains dan ilmu pengetahuan yang kini telah berkembang pesat di era millenium sekarang ini.
Secara filosofis bisa dilihat ketika dunia Islam dalam keemasan, banyak orang-orang Eropa (Barat) pada umumnya, sekitar kurang lebih abad pertengahan, negara-negara Barat mengalami kegelapan dan kemunduran, setelah berapa saat mengalami kemajuan dibidang filsafat-khususnya di negara Yunani-diawal abad Masehi. Alam pikir mereka cenderung mengarah pada profanistik. Sehingga Barat harus mengakui kemundurannya.
Kemajuan yang terjadi didunia Islam, ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka orang-orang Barat. Maka pada masa seperti inilah banyak orang-orang Barat yang datang ke dunia Islam untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan. Kemudian hal ini menjadi jembatan informasi antara Barat dan Islam. Dari pemikiran-pemikiran ilmiah, rasional dan filosofis, atau bahkan sains Islam mulai ditransfer ke-daratan Eropa. Kontak antara dunia Barat dan Islam pada lima Abad berikutnya ternyata mampu mengantarkan Eropa pada masa kembangkitannya kembali (renaisance) pada bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Selanjutnya berkembang pada era baru yaitu era-modern.
Zaman baru di Barat yang kemudian lazim dikenal sebagai abad Modern dimulai kurang lebih abad ke-17. Merupkan awal kemenangan supermasi rasinalisme, empirisme, dan positifisme dari dogmatis Agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai denagn adanya upaya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh Agama (sekulerisme). Perpaduan antara rasionalisme, empirisme dan positifisme dalam satu paket epistimologi melahirkan apa yang T.H Huaxley disebut dengan Metode Ilmiah (Scientific Method).
Munculnya aliran-alran tersebut sangat berpengaruh pada peradaban Barat selanjutnya. Dengan meode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka perhitungkan dari sudut fisiologis-lahiriahyang sangat bersifat profanik (keduniawian atau kebendaan). Atau dengan istilah lain, kebenaran ilmu pengetahuan hanya diukur dari sudut koherensi dan korespodernsi. Dengan wataknya tersebut sudah dapat dipastikan bahwa, segala pengetahuan yang berada diluar jangkauan indra dan rasio serta pengujian ilmiah ditolaknya, termasuk didalamnya penegtahuan yang bersumber pada Religie.
Dengan demikian, Zaman Modern atau Abad Modern di Barat adalah zaman, ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidupnya. Manusia hanya dipandang sebagai mahluk yang bebas yang independen dari Alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari Tatana Ilahiah (Theo Morphisme), untuk selanjutnya membangun Tatanan Antropomorphisme suatu tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Hingga kemudian mulai bermunculan gerakan-gerkan responsif alternatif sebagai respon balik terhadap prilaku masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk didalamnya Tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di Barat pada akhir dewasa ini.
Dengan Kontek ini, perlu juga ditegaskan antar hubungan Barat yang modern dan peran Agama resmi yang berlaku disana, yakni kristen. Ada sebagian orang beranggapan bahwa seluruh orang Barat menganut Agama Kristen, dengan perkecualian minoritas penganut Yahudi. Anggapan semacam ini seolah-olah Barat masih seperti Barat pada abad pertengahan, ketika trjadi perang salib yang perabannya saat itu adalah disebut abad keimanan. Ada juga sebagian yang lain beranggapan sebaliknya, yaitu bahwa seluruh orang Baat bersifat materialik atau agnostik serta skeptik dan tidak menganut satu Agama apapun. Pandangan semacam ini bisa disebut keliru, karena yang terjadi tidaklah demikian. Pada Abad ke-17, bahkan sebelumnya, yaitu ketika renaisans, telah terjadi upaya membawa dunia Baat kearah sekularisme dan penipisan peran Agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Akhirnya berakibat pada sejumlah orang Barat yang secaa praktis tidak lagi menganut Agama Kristen atau Yahudi. Orang semacam Comte, yang pikiran-pikirannya begitu anti metafisis menjadi jalan mulus menuju kearah sekularisme Dunia Barat. Ditambah dengan ajaran filsafat sosial (sosialisme), Marx (Maxisme) yang menegaskan bahwa Agama adalah candu masyarakat, yang karenanya ia harus ditinggalkan. Puncak penolakan terhadap Agama Kristen di Barat disuarakan oleh Nietzsche dengan statemennya yang banyak di kenal orang The God is dead.
Kemunculan gagasan-gagasan semacam itu mungkindiakibatkan adanya ketidak mampuan sistem keimanan sistem yang berlaku disana untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuanya. Kermajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek, akhirnya berkembang lepas dari kontrol Agama. Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya menggantikan posisi Agama. Segala kebutuhan Agama seolah bisa terpenuhi dengan iptek.Namaun dalam kurung waktu yang panjang iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah yang tampaknya membuat masyarakat Barat mengalami apa yang disebut Cak Nur (Dr. Nurkholis Madjid) yang dikutipnya dari Baigent, Krisis Epistimologis, Yakni masyarakat Barat tidak lagi menegtahui tentang makna dan tujuan hidup (Meaning and Purpose of Life).
Manusia modern semakin memperparah dirinya dengan yang dia nyatakan sendiri; karena ia telah lupa sipakah ia sesungguhny. Seperti yang dilakukan Faust setelah menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadapa lingkungan alam manusia ia menciptakan suatu situasi, dimana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran ekonomi, tetpi juga perbuatan bunuh diri.
Begitulah dunia belakangnan ini juga ditandai pembicraan tentang krisis lingkungan hidup. Dimulai dengan laporan mengenai batas-batas pertumbuhan sekitar 25-an tahun lalu, hinggakonfernsi bumi (Earth Summith) di Rio De Janeiro tahun lalu. Manusia dewasa ini semakin sadar bahwa seluruh krisis dibumi ini, tidak hanya disebabkan karena alasan maerial-dulu sering diungkap oleh banyak ahli-tapi justru lebih pada sebab-sebab yang bersifat transedental: sebab-sebab cara pandang manusia terhadap alam ini. Dunia modern sekarang ini, tidak lagi memilki ‘horizon spiritual’. Ini bukan berarti hprozon spiritual itu tidak ada, tapi karena manusia modern-dalam istilah Filsafat Perrenial-hidup dipinggir lingkaran eksistensi.
Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari pinggiran eksistensinya saja, tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang-memberi perhatian pada dirinya yang secara kuantitatif sangat mengangumkan, tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya-menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri-ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena mansuia kehilangan ‘pengetahuan langsung’ mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung berhubungan dengan dirinya.
Itu sebabnya, dunia ini menurut pandangan manusia adalah dunia yang memang tak memiliki dimensi transedental. Dengan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang dibangun selama ini tidak menyertakan hal ayng paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual. Belakangan ini baru disadari adanya krisis spiritual dan krisis pengenalan diri.
Sejarah pemikiran Barat modern, sejak Rene Descartes ditandai dengan usaha menjawab tantangan keberadaan manusia sebagai mahluk mikro kosmik. Dengan falsafahnya yang amat terkenal cogito ergo sum (karena berpikir maka aku ada). Tetapi sayangnya, bukan pengerian yang makin mendalam yang didapat, namun justru keadaan yang semakin menjauh dari eksistensi dan pengertian yang tepat mengenai hakekat diri yang diperoleh.
Max Scheeler, Filsafat Jerman dari awal abad ini mengatakan, tak ada periode lain dalam pengetahuan bagi dirinya sendiri, seperti pada periode kita ini. Kita-katanya-punya antropologi ilmiah, antropologi filosofis, dan antropologis teologis yang tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kita tidak memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang keberadaan manusia (human being). Semakin bertumbuhdan banyaknya ilmu-ilmu khusus yang terjun konsepsi kita tentang manusia, malah sebaliknya semakin membingungkan dan mengaburkannya.
Maka dari itulah, jika kita kembalikan pada bahasan semula tentang metode ilmiah yang berwatak rasional dan empiris, telah menghantarkan kehidupan manusia pada suasana modernisme. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, modernisme melahirkan corak pemikiran yang mengarah pada rasioanalisme, positifisme, pragmatisme, sekulerisme dan materialisme. Aliran-aliran filsafat ini, dengan watak dasarnya yang sekuleris-meminjam istilahnya Fritchjof Schuon-sudah terlepas dari Scintia Sacra (Pengetahuan suci) atau Philosophia Perenneis (Filsafat Keabadian).
Proses modernisasi yang dijalankan Barat yang diikuti negara-negara lain, ternyata tidak selalu berhasil memenuhi janjinya mengangkat harkat kemanusiaan dan sekaligus memberi makna yang lebih dalam bagi kehidupan. Modernisme justru telah diraskan membawa dampak terhadap terjadinya kerancauan dan penyimpangan nilai-nilai. Manusia modern kian dihinggapi dasa cemas dan tidak bermanaan dalam kehidupannya. Mereka telah kehilangan visi keillahiahan atau dimensi ransedental, karena itu mudah dihinggapi kahampaan spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern menderita keterasingan (alienasi), baikteralienasi dari dirinya sendiri, dari lingkungan sosilanya maupun teralienasi dari Tuhannya.
Menyadari kondisi masyrakat modern yang sedemikian, pada abad ke-20, terutama sejak beberapa dekade terakhir ini, muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan mengkritik teori-teori modernisasi, Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadarn dan pola kehidupan baru.
Kritik terhadap modernisme dan usaha pencarian ini sering dissebut dengan masa pasca modernisme (post-modernisme). Masa ini seperti yang dikatakan Jurgen Habermes seorang Sosiolog dan Filosof Jerman tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan hedonistik, tetapi juga telah mengakibatkan terjadinya intrusi massif dan krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pada Era Post-Modernisme mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua Agama otentik. Manusia perlu untuk memikirkan kembali hubungan antara Yang Suci (Sacred) dan yang sekuler (Profan).
Gerakan ini dikenal dengan sebutan perenneialisme atau tradisionalisme: adalah sebuah gerakan yang ingin mengembalikan bibit Yang Asal, Cahaya Yang Asal, ataupun prinsip-prinsip yang asal, yang sekarang hilang dari tradisi pemikiran manusia modern. Untuk menyebut beberapa nama tokoh yang melopori gerakan-gerakan tersebut antara lain; Louis Massignon (m.1962), Rene Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burckhart, Henry Corbin (m.1978), Martin Lings, Fritcjof Schoun, dan masih banyak lagi.
Sementara di kalangan modernis Islam gerakan Pembaharuan dan pemikiran dalam Islam sejak fase 60-an hingga dewa ini mencoba bersikap lebih kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya, dan bahkan terhapa sebagian kelompok pemikir Islam yang mencoba mencari alternatif non-Barat. Kelompok yang disebut terkahir misalnya Hasan Albana (m.1949), Abul A’al al-Maududi (m.1979), Sayyid Quthub (m.1965), dan pemuka-pemuka Al-Ikhwan (sering disebut kelompok fundamentalis, atau lebih tepat ‘Neo-Revivalis Islam’) menghendaki agar semua persoalan kemoderenan selalu dikembalikan kepada acuan al-Qur’an, as-Sunnah dan kehidupan para Sahabatdalam pengertian tekstual. Fazlur Rahman (m.1989), Muhammad Arkoun(l.1928), dan isma’il Raji al-Faruqi (m.1986)-yang sering disebut kelompok Neo-Modernis-berusaha mencarai relevansi Islam bagi dunia modern Islam, bagi mereka, adlah al-Qur’an adn as-Sunnah yang meski ditangkap pesan-pesan tersebut. Kelompok ini dalam pembaharuannya berkecndrungan k arah humanistik, rasionalistik, dan liberalistik. Sedang tokoh-tokoh muslim lain seperti Ali Syari’ati (m.1979), Hassan Hannafi (l,1935), dan Abdillah Larraui (sering disebut penyebar paham Kiri Islam) berkepentingan membela massa, rakyat tertindas dan menampilkan ISlam sebagai kekuatan revolusioner-politik. Oleh karenanya kelompokterkhir ini, sering juga disebut sebagai penyebar sosiallisme ISlam dan Marxisme Islam sebagai model pembangunan di dunia Islam. Mereka mengutuk westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Islam, Nasionalisme, dan ekses-ekses kapitalisme, demikian juga materialisme serta ke-tak Bertuhanan Marxisme.
Kemudian selnjutnya lahir tokoh-tokoh pemikir kontemporer lain sebagai pemikir alternatif , yakni Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep nilai-nilai ke-islaman yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Tradisionalisme Islam’. Merupakan gerakan respon terhadap kekacauan Barat modern yang sedang mengalami kebobrokan spiritul, dimana menurut penilaian Nasr menyarankan agar Timur menjadi Barat sebagai case study guna mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahn-kesalahan Barat.
Sayyed Hussein Nasr beranggapan, sejauh ini gerakan-gerakan fundamentalis atau revivalis Islam tak lebih merupakan dikotomi tradisionalisme-modernisme, keberadaannya justru menjadi terlalu radikal dan terlalu mengarah kepada misi politis dari pada normatik-religius (nilai-nilai ke-Agamaan). Sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atasnama pembaharuan-pembaharuan trdisional Islam.
Pada momen sejarah ini pulalah saat yang tepat untukmembedakan gerakan-gerakan yang disebut sebagai ‘Fundamentalisme Islam’ dari Islam Tradisional yang sering dikelirukan siapapun yang telah membaca karya-karya yang bercorak tradisionaltentang Islam dan membandingkannya dengan perjuangan lairan-aliran ‘fundamentalis’ tersebut segera dapat melihat perbedaan-perbedaan mendasar diantara mereka, tidak saja didalam kandungan tetapi juga didalam ‘iklim’ yang mereka nafaskan. Malahan yang dijuluki sebagai fundamentalisme mencakup satu spektrum yang luas, yang bagian-bagiannya dekat sekali dengan Interpretasi tradisional tentang Islam. Tetapi tekanan utama macam gerakan polito-religius yang sekarang ini disebut fundamentalisme itu mempunyai perbedaan yang mendasar dengan Islam Tradisional. Dengan demikian perbedaan yang tajam antara keduanya terjustifikasi, sekalipun terdapat wlayah-wilayah tertentu, dimana beberapa jenis fundamentalisme dan dimensi-dimensi khusus Islam Tardisonal bersesuaian.
Gerakan TradisonalismeIslam yang diidekan dan dikembangkan nasr, merupakan gerakan untuk mengajak kembali ke ‘akar tradisi’; yang merupakan Kebenaran dan Sumber Asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan anatar sekuler (Barat) dengan dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama.
Tradisionalisme Islam adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah bentuk Sophia Perenneis (keabadian). Tradisonalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual secara unversal untuk mampu merespons arus pemikiran Barat modern (merupakan efek dari filsafdat modern) yang cenderung bersifat profanik, dan selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan gerakan Fundamntalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan kelompok-kelompok fundamentalis lain.
Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam itu paling tidak merupakan tawaran alternatif sebuah nilai-nilai hidup bagi manusia modern maupun sebuah negara yang telah terjangkit pola pikir modern (yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya) untuk kemudian kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental.
Sebagiman yang dipergunakan oleh para kelompok Traditonalis tema tradis menyiratkan sesuatu Yang Skaral, Yang Suci, dan YAng Absolut. Seperti disampaikan manusia melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk mana ia maksudkan, dlam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan sumber maupun mata rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincanngkan dengan realitas transeden meta-historikal. Sekaligus makna absolut memiliki kaitan emanasi dan nominasi dari sesuatu sesuatu yang profan dan aksidental.
Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi (sophia perenneis), serta penerapan bersinambungan prinsip-prinsipnya yang lansung perennei terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Untuk itulah Islam Tradisional mempertahankan syariah sebagai hukum Ilahi sebagiamana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan sebaimana ia dikristalkan dalam madzab-madzab klasik. Hukum menyangkut kefustifikan, Islam Tradisionalmemempertahankan Islamitas seni Islam, kaitannya dengan dimensi batini, wahyu Islam dan kristalisasi khazanah spiritual Agama dalam bentuk-bentuk yang tampak dan terdengar, dan dalam domain politik, Perspektif tadisional selalu berpegang pada realisme yang didasarkan pada norma-norma Islam.
B. Permusan Masalah
Dari latar belakang yang diungkapkan secara panjang di atas maka dari itu hal yang paling pokok untuk bisa menjadi pembahsan selanjutnya, adalah bagaimana makana sesungguhnya Tradisionalisme Islam sebagai pencarian menuju pembentukan spohia perenneis yang diidekan Nasr sekaligus ditawarkan Nasr.
Untuk itu diperlukan kajian secara mendalam dan terarah tentang hal-hal pokok yang meliputi pandangan nasr, agar sampai pada pemahaman konsep pemikiran Tradisional Islam sebagai pencarian menuju pembentukan sophia perenneis. Perumusan itu adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana eksposisi modern dan tradisional dalam pandanganSayyed Hussein Nasr?
2. Bagaimana Scintia sacra sebagai penemuan kembali akar tradisi?
3. bagaimana Filsafat Perennial sebagai perspektif alternatif untuk studi agama?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui eksposisi modern dan tradisonal dalam pandangan Sayyed Hussein Nasr.
2. Untuk mengetahui scintia sacra sebagai penemuan kembali akar tradisi.
3. Untuk mengetahui bagaimana Filsafat Perennial sebagai perspektif alternatif untuk studi agama.
D. Kegunaan Penulisan
Kegunan penulisan ini lebih bersifat akademika, maka kegunaan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat lateral untuk mengisi elan (semangat) pengembangan wawasan ke-Islaman.
2. Dijadikan bahan kajian dalam memperkaya khazanah studi Islamika di Perguruan Tinggi lainnya yang intens dengan persoalan-persoalan ke-Islaman dan yang tertarik dengan studi Islam.
3. Untuk memperkaya khazabah kepustakaan dalam hal pemikiran Islam modern dalam Perguruan Tinggi
E. Metode Penulisan
1. Obyek dan Lingkup Studi
Dalam judul sebagaimana tersebut diatas, tulisan skripsi ini di spesifikasikan pada obyek kajian tentang Tradisionalisme islam sebagai Konsepsi Sophia Perenneis menurut Sayyed Hussein Nasser yang melawankan kebesaran wacana intelektual peradapan milenial Timur sebagai basis tradisional dengan wacana Barat Modern dan sekuleristik.
2. Metode yang Digunakan
Di dalam penulisan karya ilmiah, ada dua metode yang digunakan; Library Research, yaitu karya ilmiah yang didasarkan pada study literatur atau pustaka; dan Field Research, yaitu yang didasarkan studi lapangan. Mengingat objek studi beserta sifat maslahnya,maka dalam penulisan karya ilmiah ini mengunakan metode Library Research atau penulisan literatur (pustaka). Oleh sebab itu, penulisan karya ilmiah ini akan di lakukan berdasarkan atas hasil studi terhadap beberapa bahan pustaka yang relevan, baik yang telah banyak banyak membahas pemikiran Sayyed Hussein Nasratau beberapa tulisan yang ko-relevan dengan wacana Tradisionalisme Islam sebagai konsepsi sophia perenneis, sebagaimana yang telah ditawarkan Sayyed Hussein nasr dalam bukunya islam Tradisi; di Tengah Kancah Dunia Modern, terjemahan dari buku Tradisionalisme Islam and The Modern World oleh Lukman Hakim.
3. Data yang Diperoleh
Data yang diperlukan dalam penelitian pustaka dalam rangka penulisan karya ilmiah ini sudah tentu data kualitatif yang sifatnya tekstual dan kontekstual, yaitu beberapa statemen atau pernyataan serta proporsi-proporsi ilmiah yang telah dikemukakan oleh Sayyed Hussein Nasr dalam kaitannya dengan Tradisionalisme Islam sebagai Konsepsi Sophia Perenneis.
4. Sumber Data
Sesuai dengan sifat dan jenis metode yang diperlukan dalam tulisan skripsi ini, maka sebagai sumber data yang utama atau data primer adalah dua karya Sayyed Hussein Nasr ; Traditionalisme Islam abd The modern World dan Knowledge and The sacred yang kedua-duanya telah diterjemahkan atau dialih bahasakan menjadi Islam Tradisi di Tengah Kancah dunia modern oleh Lukman hakim dan Pengetahuan dan Kesucian oleh Suharsono.
Disamping itu selain sumber data primer, juga menggunakan data sekunder, yaitu data yang diambil dari bahan pustaka yang relevan dengan obyek masalah yang dikaji, seperti halnya dalam buku Fritjhof Schoun tentang Islam dan Filsafat Perennial, Islam dan Filsafat Sains oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ilmu Hudhuri: Prinsip-Prinsip Epistimologi dalam Islam, oleh Mehdi Ha’airi Yazdi, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial oleh Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, dan buku-buku yang mendukung lainnya
5. Tehnik pengumpulan data
Sesuai dengan metode yang diapakai, maka tehnik pengumpulan data yang tepat diperlukan dalam penelitian Library Research adalah tehnik dokumenter, yaitu dikumulkan dari buku-buku, makalah-makalah diskusi, artikel dan sebagainya, baik yang telah dipublikasikan maupun yang masih diarsip oleh Sayyed Hussein Nasr atau mungkin pusat-pusat study yang memiliki tentang pandangan pemikiran yang berkaitan dengan Traditionalisme Islam (Tradisonalisme Islam).
6. Tehnik Analisa Data
Sesuai dengan jenis dan sifat data yang diperoleh dari dari penelitian analisis yang dipergunakan adalah tehnik Content Analisis atau (analisis isi). Dengan tehnik ini, maka data kualitatif tekstual yang diperoleh akan disortir (dipilah-pilah), dilakukan katagorisasi antara data yang sejenis untuk mendapat suatu formula analisa dan pemikiran Sayyed Hussein Nasr melalui tema pokok Tradisonalisme Islam Sebagai Pencarian Menuju Pembentukan Sophia Perenneis yang selanjutnya didiskusikan melalui sharing pandangan untuk melahirkan kesimpulan dari masalah di atas.
7. Sistematika Pembahasan
Penulisan karya ilmiah ini secara keseluruhan memcakup empat bab, yang masing-masing disusun secara sistematis, sebagai berikut:
Bab I. Merupakan Pendahuluan, yang didalamnya mencakup Latar Belang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Pembahasan.
Bab II. Pembahsan bab ini difokuskan kepada Sayyed Hussein Nasr dan Rekontruksi sains Islam yang penulis bagi menjadi beberapa sub bab, yaitu Biografi singkat Sayyed Hussein Nasr, yang di dalamnya mencakup Latar Belakng Pemikiran Sayyed Hussein Nasr, Identifikasi Pemikiran Sayyed Hussein Nasr. Adapun sub bab selanjutnya akan diuraikan secara panjang lebar bagaimana Nasr mencoba menggali Sakralitas Ketimuran diantara Dunia Barat Modern dan Pembentukan Paradigma Baru Melalui Wacana Sejarah kefilsafatan. Di mana hal tersebut selanjutnyamenjadi basic pemikiran Sayyed Hussein Nasr tentang konsep Tradisionalisme Islam.
Bab III, bab ini membahas obyek penelitian, yaitu menelusuri gagasan utama tentang makna Tradisionalisme Islam sebagai pencarian menuju pembentukan Sophia perenneis yang meliputi: Eksposisi Modern dan Tradisionalisme dalam pandangan Sayyed Hussein Nasr, scintia sacra sebagai penemuan kembali Akar Tradisi dan Filsafat Perennial : Sebuah Perspektif Alternatif untuk Studi Agama.
Bab IV merupakan bab terakhir dari pembahasan skripsi ini yang meliput; Kesimpulan dan Saran.
Nama : M. Ali Adrinsyah
Ttl : Palembang, 13 mei 1980
Unveritas : Sekolah Tinggi Islam Negri Malang (STAIN)
Jurusan : Psikologi
Semester : Lima
Alamat Kampus : Jl. Gahayana No.50 Malang 65145
Alamat Kos : HMI Kmisariat STAIN Jl. Sumber Sari
Gang 1.a No.62 Malang
65145
Saya M. ali adriansyah setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:
Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network.
Browse » Home »
Pendidikan
» KEISLAMAN
KEISLAMAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comments :
0 comments to “KEISLAMAN”
Post a Comment